Sabtu, 25 Oktober 2008

Tan Malaka ( Sutan Ibrahim)

Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatra Barat, 2 Juni 1897 - wafat di Jawa Timur, 21 Februari 1949) adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba.
Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris.Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan revolusi nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963.
Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat. Tokoh ini juga adalah orang yang mendalangi terjadinya pergolakan sosial di wilayah Surakarta setelah pengumuman Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang berakibat hilangnya status Daerah Istimewa bagi bekas wilayah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunagaran.

Riwayat Hidup Tan Malaka
>Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda.
>Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
>Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
> Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai.
>Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
>Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.

Perjuangan
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI. Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan- kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.
Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI).
Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925. Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah...."

Madilog
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana. Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.
Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.

Pahlawan
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.
Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.
Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya,bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949. Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.

Tan Malaka dalam fiksi
Dengan julukan Patjar Merah Indonesia Tan Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional.
Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona yang berjudul Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Nama Pacar Merah sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel, yang berkisah tentang pahlawan Revolusi Prancis. Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya, yaitu Muso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky), Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin) dan Soebakat (Soe Beng Kiat). Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia, terutama di Sumatera.

Beberapa judul kisah Patjar Merah:
>Matu Mona. Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Medan (1938)
>Matu Mona. Rol Patjar Merah Indonesia cs. Medan (1938)
>Emnast. Tan Malaka di Medan. Medan (1940)
>Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940)
>Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940)

Jumat, 24 Oktober 2008

Ajaran Mendasar Dalam Agama Islam

Kita sebagai ummat Islam, bukan hanya memikirkan masa depan bangsa ini tetapi juga memikirkan eksistensi kita sebagai bagian dari ummat Islam, yang mana kerukunan dan keharmonisannyahrus selalu kita jaga. Suatu perbedaan yang ada saat ini hanya akan membuat kita terpecah yang akhirnya membuat membuat kita lemah, goyah dan rapuh. Kita hanya bisa bangga dengan besarnya kuantitas ummat Islam saat ini tanpa sedikit pun merasa minder dengan kualitas yang ummat Islam miliki, Naudzubillahi min dhalik. Kondisi seperti inilah yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam lalu apakah sikap dan tindakan kita untuk mengatisipasi hal tersebut?.

Oleh karena itu marilah kita mencoba untuk mengakhiri dan meluruskan semua perbedaan yang ada dengan merajut kembali Ukhuwwah Islamiyah yang Islam agungkan tanpa melupakan tuntunan kita Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup kita.

Ada beberapa ajaran mendasar dalam agama Islam untuk menjaga kesatuan ummat dengan tauhid dan sosial-nya (dikutip dari pernyataan bapak Amien rais dalam Cakrawala 1987 dan Tauhid Sosial 1998) adalah sebagai berikut:

Pertama: Unity of Godhead (Kesatuan ketuhanan), prinsip ini mengingatkan kita bahwa hanya Allah Swt Illah yang harus kita sembah, kita puji dan kita agungkan. Seperti halnya saudara kandung, walau berbeda tempat tinggal dan berbeda taraf ekonomi namun mereka masih harmonis dan bersatu padu karena mereka dilahirkan dari rahim seorang ibu yang selalu menyayangi mereka dan seorang ayah yang mendidik dan membesarkan mereka. Lantas mengapa kita tidak mampu untuk menjadikan Allah Swt tempat bergantung dan memohon sebagai pemersatu kita dalam satu keimanan dan aqidah?. Bukankah Allah Swt yang telah menciptakan kita?. Allah Swt berfirman:

"sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertaqwalah kepada-Ku." Al-Mukminun:52

Kedua: Unity of Creation (Kesatuan Penciptaan), kita menyadari bahwa kita berasal dari Adam As sebagaimana yang telah Allah Swt gambarkan dalam Al-Qur'an:

"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan peremppuan yang banyak.” An-Nisa’:1

Dari sinilah kita seharusnya mampu merajut jalinan kebersamaan antar sesama. Perbedaan yang ada hanyalah warna-warni hidup ini entah itu perbedaan warna kulit, suku, ras, etnis, dan lain sebagainya. Bukankah semua makhluk yang ada di dunia ini adalah ciptaan Allah Swt?. Allah menciptakan kita (manusia) tanpa adanya perbedaan yang memisahkan antar sesama dan perlu kita ingat bahwa kita berasal dari Adam As yang berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah.

Tiga: Unity of Mankind (kesatuan kemanusiaan). Kesadaran akan asal diri yang satu hendaknya membentuk satu kesatuan kemanusiaan, namun berbagai kepentingan yang ada telah membuat kita terpecah belah. Tak terkecuali ummat Islam, perpecahan kerap muncul karena dipicu oleh berbagai kepentingsn yang beraneka ragam sifatnya, ada kepentingan pribadi, kelompok, golongan, dan lain sebagainya. Merka saling menghujat, saling menjatuhkan yang akhirnya menimbulkan pola pikir yang disebut dengan Paradigma Truth Claim yang beranggapan bahwa kelompoknyalah yang paling hebat, paling benar, dan paling pantas memegang kursi pemerintahan, itu semua timbul akibat masing-masing individu atau kelompok bangga akan prestasi yang telah diperoleh oleh masing-masing individu atau kelompok mereka.

Kesadaran Unity of Mankind hendaknya mampu mengikis paradigma yang demikian itu, kita semua adalah makhluk Allah dan dimata-Nya bukan karena individu atau kelompok yang dillihat dan dinilai tetapi sejauh mana kita mampu merealisasikan wujud ketaqwaan kita dan mampu menyumbangkan sesuatu hal yang terbaik dalam hidup ini. Islam tidak mengenal adanya tingkatan, kasta, dan lain sebagainya tetapi Islam hanya mengenal masyarakat Egaliter sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an:

“hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Al-Hujurat:13

Disamping itu konsep yang sangat sederhana untuk mengembalilkan kesatuan ummat Islam adalah dengan merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan tuntunan yang satu bagi semua ummat Islam. Tuntunan ini disebut dengan Guidance.

Empat: Prinsip kesadarn akan kesamaan tuntunan diatas yang harus kita pahami bersama yaitu Unity of Guidance of Life (Kesatuan Tuntunan Hidup). Walu kita semua setuju untuk merujuk semua permasalahan yang ada kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, namun didalam memahi keduanya kita terkadang masih berbeda pendapat yang dapat menjerumuskan kita kepada perselisihan. Ironisnya ketika perbedaan interpretasi tersebut terjadi bukan ditujukan untuk menemukan hakikat yang terkandung dalam sbeuah ayat atau hadits, tetapi didorong oleh faktor-faktor lain seperti kepentingan politk misalnya. Tentu bukan perbedaan pendapat yang demikian yang kita harapkan, tetapi perbedaan dalam rangka mencari kebenaran suatu ayat atau hadits, perbedaan yang didasari oleh kejujuran, keterbukaan, dan kerendahan hati. Menerima pendapat orang lain dan mengakui kekeliruan yang ada dalam diri atau pun kelompok. Inilah sikap yang pernah ditampilkan oleh para pendahulu kita Salafus Shalih dan ulama sesudah mereka, suatu sikap yang toleran As-Samhah walaupun telah terjadi perbedaan diantara mereka dalam masalah-masalah Furu’ (Cabang), namun tidak ada diantara meeka sikap saling membenci dan memusuhi.

Disebutkan pernah terjadi perbedaan antara Abu Hanifah dan Imam Malik dalam masalah furu’ yang jumlahnya sekitar empat belas ribu yang menyangkut bab ibadah dan mu’amalah, juga antara Imam Syafi’e dan gurunya, Imam Malik dalam berbagai masalah yang jumlahnya mencapai sekitar enam ribu. Begitu banyak permasalahan yang ada namun tak satu pun dari mereka saling memusuhi, tak satu pun dari mereka saling menjelekkan dan mencaci maki. Sebaliknya mereka saling mencintai, menghargai, dan menyayangi serta menunjukkan sikap yang bersih, adil kepada sesama. Maka sikap saling menyalahkan dan merasa diri paling benarakibat perbedaan pendapat dalam agama, berpotensi menimbulkan perpecahan yang seharusnya kita hindari.

Menunjukkan sikap beragama yang terbuka, tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Bisikan dan godaan syetan serta berbagai kepentingan mampu menyeret manusia dari koridor ini. Disinilah fungsi sentral para da’i atau pemberi peringatan yang mana Nabi Muhammad telah mengajarkan kita demikian yaitu untuk mengembalikan keberadaan ummat menjadi ummat yang satu dalam koridor Islam.

“Manusia itu adalah ummat yang satu (setelah muncul perselisihan) maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar untuk memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi peyunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” Al-Baqarah:213

Melihat dunia saat ini yang penuh dengan paradigma-paradigma kehidupan yang rusak, maka diperlukan orang-orang yang konsisten memegang ajaran agama. Orang-orang yang berjiwa terbuka dan bersih dari kepentingan-kepentingan yang bersifat duniawi, dan selalu berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam membentuk orang-orang seperti ini, maka memaknai dan memahami secara mendalam surah Ali Imran:104-105 sangat relevan. Semua ini adalah upaya menuju satu kesatuan tujuan hidup (Unity of Purpose of life) dengan ridha dan diridhai Allah Swt, yang merupakan prinsip kelima dalam mengembalikan keharmonisan Ukhumwwah Islamiyah. (Hamba Allah)